Oleh:
Politik di Indonesia itu seperti fiqh, selalu dinamis. Apalagi kalau fiqh itu produk “pesanan”, seringkali sangat dinamis.
Politik di Indonesia juga seperti orang naik pesawat saat melewati awan atau cuaca buruk, mengalami turbulensi.
Balon pasangan capres Mas
dan cawapres Gus Imin itu produk dinamika dan turbulensi politik di Indonesia.
Posisi dan sikap Partai Demokrat, termasuk pernyataan panjang lebar Pak SBY dalam menyikapi “pengkhianatan” Mas Anies dan Pak Surya Paloh juga merupakan produk dari dinamika dan turbulensi politik di Indonesia.
Nahdliyin juga akan menyaksikan bahwa PKB dan PKS yang sering disudutkan sebagai tangan panjang Wahabi, ternyata bisa berkoalisi. Ini juga produk dari dinamika dan turbulensi politik di Indonesia.
Ibu Mega dan Pak Jokowi yang sebelumnya sempat bersitegang terkait “petugas partai”, sangat mungkin akan berangkulan kembali. Ini juga merupakan bentuk dinamika dan turbulensi politik di Indonesia.
Baru satu pasangan balon capres dan cawapres yang muncul. Diandaikan akan muncul lagi dua atau tiga pasang balon capres dan cawapres, maka dipastikan akan melahirkan banyak dinamika dan turbulensi politik kembali.
Penentuan pasangan Pak Prabowo rasanya akan melahirkan dinamika dan turbulensi politik.
Begitu pun penentuan pasangan Mas Ganjar juga rasanya akan melahirkan dinamika dan turbulensi politik.
Bahkan andaikan ternyata Mas Ganjar harus berpasangan dengan Pak Prabowo, juga akan melahirkan dinamika dan turbulensi politik.
Ke arah mana Partai Demokrat akan menentukan pilihan koalisi juga sangat mungkin akan melahirkan dinamika dan turbulensi politik.
Paling akhir, bagaimana kelanjutan hubungan Bu Mega dan Pak Jokowi terkait capres-capresan juga berpotensi melahirkan dinamika dan turbulensi politik.
Itulah politik di Indonesia yang selalu melahirkan dinamika dan turbulensi.
Soal apakah dinamika dan turbulensinya rendah, sedang atau sangat tinggi, fatsun atau sopan santun salam berpolitik akan sangat menentukan.
Sekian.