Menu

Mode Gelap
Sandiaga Dukung Jokowi “Partai Perorangan” Demokrat Jakarta Ucapkan Selamat buat Pramono-Rano Karno 2 Bidan Jualan 66 Bayi di Yogyakarta “Jakarta Makin Menyala!” Megawati Minta Resmikan Lagu Indonesia Raya 3 Stanza

Opini · 17 Sep 2023 07:18 WIB ·

Gas dan Energi Hayati untuk Kehandalan Pasokan Energi RI


Foto: Dokumentasi ESDM Perbesar

Foto: Dokumentasi ESDM

Sesuai sebutannya yaitu Energy Trilemma, ada tiga hal penting dalam menilai sektor energi suatu negara, yaitu Security, Affordability dan Sustainability. Sejauh mana kesetimbangan akan tiga hal tersebut yang seringkali menjadi konflik antara satu dan lainnya, menjadi ukuran kekuatan sektor energi suatu negara. Dari semula ketetimbangan antara ketiga kriteria, menjadi hirarki, kriteria mana yang lebih utama pada saat terjadi krisis seperti sekarang. Indonesia Trilemma Index tahun 2022 adalah 59.7, yang jauh lebih rendah dibandingkan 85 pada tahun 2016.

Masalahnya, setiap negara memiliki kekayaan sumber daya alam yang berbeda. Demikian juga tingkat kemajuan ekonomi negara yang satu dan lainnya memiliki ketergantungan yang berbeda pada kekayaan alam. Kondisi sosial ekonomi rakyat juga menentukan, sejauh mana kekayaan alam akan diolah serta kebutuhan dasar yang terutama harus dipenuhi. Tercatat, Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia dengan keanekaragaman hayati terbesar pada tahun 2022. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, dan merupakan rumah bagi berbagai ikan, burung, dan lebih dari 19.000 spesies tanaman.

Baru-baru ini WoodMac mengeluarkan Laporan bahwa Indonesia diperkirakan akan impor LNG di tahun 2040. Laporan tersebut dipaparkan dalam IPA 2023 di Serpong. Saat ini Indonesia masih mampu ekspor LNG. Bahkan beberapa periode silam Indonesia pernah menduduki sebagai eksportir terbesar LNG di dunia. Kita juga saat ini menjadi eksportir batubara yang besar. Masih terkait energi, nikel bahkan menjadi primadona ekspor karena dibutuhkan dunia untuk material battery sebagai penyimpan energi.

Kehandalan Pasokan Energi

Kehandalan pasokan energi ini sangat besar dampaknya secara ekonomi bagi suatu negara. Di masa lalu, ketika terjadi konflik maka serta merta harga energi akan meningkat tajam, yang diikuti dengan kenaikan harga komoditas lainnya dan juga biaya logistic dan transportasi. Setiap kejadian besar mengakibatkan adanya perubahan kebijakan yang sangat besar. Pembentukan OPEC tahun 1960 yang berakibat pada naiknya harga migas, mendorong terbentuknya IEA oleh negara-negara maju.

Terakhir, pandemi serta konflik Rusia-Ukraina mengubah banyak kebijakan terkait energi transisi ke energi terbarukan. Bahkan hingga beberapa negara terpaksa menjilat ludah sendiri dengan kembali menyalakan pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Tenaga nuklir yang semula hendak ditinggalkan, bahkan kembali diterima sebagai sumber energi di Jepang dan Prancis. Banyak negara berkembang kembali menghidupkan program nuklir untuk energinya, antara lain Filipina, Vietnam dan Bangladesh.

Indonesia butuh energi yang sangat besar untuk mendukung kemajuan ekonomi. Pada tahun 2050 energi ekuivalen dibutuhkan 1.000 MTOE vs saat ini sebesar 257 MTOE. Semangat hilirisasi dan industrialisasi dalam rangka menuju Indonesia Maju terbukti membutuhkan energi yang besar. Pembangkit listrik untuk satu kompleks industri pengolahan nikel di Morowali (700 GW), sebesar 30% dari total kapasitas pembangkit listrik di Sulawesi Tengah (2.100 GW pada 2021). Artinya, kompleks industri pengolahan nikel berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kebutuhan listrik di Sulawesi Tengah.

Kebutuhan energi juga terbukti sangat dipengaruhi oleh kebiasaan baru, terutama yang terkait teknologi. Saat pandemi, energi untuk transportasi menurun tajam menjadi sekitar 12% dibandingkan pra-pandemi. Tetapi karena kegiatan berpindah ke pemukiman dan tempat tinggal dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan internet, maka kebutuhan listrik saat pandemi justru meningkat 8% dibanding 6% peningkatan sebelum pandemi.

Gas dan Energi Hayati sebagai Pilihan Utama

Gas terbukti menjadi energi yang menghasilkan emisi lebih rendah dibanding energi fosil lainnya. Tidak heran mengapa Korea dan Jepang begitu mengandalkan pasokan gas alam sebagai pasokan energi untuk industri dan masyarakat. China menggunakan gas alam sebagai transisi ke energi terbarukan sekaligus untuk mengurangi dampak polusi udara di HBT (Huabei-Beijing-Tianjin) di era 2000-an sebelum berkembangnya elektrifikasi di transportasi. Sehingga Olimpiade Beijing tahun 2008 berhasil diselenggarakan dalam udara yang lebih bersih.

Gas alam yang sebagian dipasok dari Indonesia dalam jumlah besar. Demikian juga penggunaan di Singapura, meski kontrak berakhir tetap menginginkan kelanjutan pasokan gas alam sebagai salah satu sumber energinya. Bahkan negara-negara Eropa Barat begitu bergantung pada pasokan gas alam. Dengan beralihnya sebagian hak pengelolaan Lapangan Masela ke perusahaan negara, maka pasokan gas Indonesia ke depan juga menjadi lebih terjamin.

Untuk pasokan dan penggunaan energi hayati, Indonesia dan Brasil adalah juara dunia. Sekitar sepertiga pasokan BBM untuk mesin diesel di Indonesia adalah bahan bakar hayati dari minyak sawit, yaitu 13 juta KL dari total 38 juta KL biosolar. Dengan posisi Indonesia yang juara dalam luas lahan perkebunan sawit dan produksi minyak sawit, maka jaminan akan kecukupan pasokan energi hayati dari minyak sawit menjadi lebih kuat. Demikian juga dengan Brasil sebagai juara dalam produksi gula dari tebu, di mana sebagai produksi samping juga dihasilkan mollase yang selanjutnya diproses menjadi bioetanol untuk bahan bakar. Untuk bensin sebagai BBM, saat ini Indonesia kembali ke peta jalan bahan bakar bersih semula dengan target kandungan bioetanol hingga 5% di tahun 2025 sebagaimana sudah dicanangkan di tahun 2015.

Reorkestrasi Kebijakan Pasokan Energi Rendah Karbon

Memanfaatkan sumber energi yang tersedia di dalam negeri secara optimal menjadi orientasi banyak negara dalam kebijakan pasokan energinya. Pengalaman krisis akibat pandemi dan konflik berkepanjangan berakibat pada perubahan rantai pasok yang sangat besar. Negara-negara Laut Utara mengandalkan tenaga angin untuk menghasilkan listrik yang digunakan untuk produksi hidrogen. Mereka mengoptimalkan sumber daya di dalam negeri untuk menjaga kehandalan dan keamanan pasokan energi di masa dating. Target pasokan hidrogen di Inggris Raya dalam bauran energinya mencapai 20-35% di tahun 2050.

Negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia dan negara Timur Tengah yang kaya dengan pasokan hidrokarbon, terutama gas, saat ini juga sudah mulai membangun fasilitas produksi hidrogen dari gas alam sebagai transisi menuju ekosistem ekonomi hidrogen. Sehingga pada saat nanti apabila energi terbarukan sudah ekonomis, dengan Levelized Cost of Ownership yang setara energi dari fosil, maka ekosistem penyimpanan dan distribusi hidrogen sudah siap untuk green hydrogen.

Dalam hal Indonesia, cadangan gas yang ada dan akan diproduksi mungkin akan lebih memberikan manfaat jangka Panjang yang lebih besar apabila diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Permasalahan utama selain aspek teknologi, kemungkinan adalah investasi infrastruktur transportasi dan distribusi yang besar. Secara perlahan perlu dibangun kesadaran bersama, bahwa pembangunan infrastruktur dan ekosistem industri transportasi gas dan bahan bakar hayati dalam jangka Panjang akan memberikan dampak sosial ekonomi dan ketahanan energi yang lebih baik.

Untuk memenuhi kebutuhan pasokan energi rumah tangga yang lebih murah, diperlukan pembangunan jaringan pipa gas yang disertai dengan kebijakan tata kota dan kendali tataguna lahan pemukiman. Pasokan LPG yang sekitar 82% dari impor dan menelan dana subsidi sekitar Rp75 triliun per tahun. Apabila sebagian dana tersebut digunakan untuk pendanaan pengembangan jaringan gas rumah tangga, maka target 1 juta sambungan bisa tercapai. Tentunya hal ini perlu didukung dengan kebijakan tata kota yang mengatur pemukiman dan pembangunan rumah susun dan apartemen di kota, pembangunan jaringan gas dan lainnya.

Selama ini industri otomotif memberikan sumbangan sekitar 2% PDB. Kontribusi sektor migas terhadap penerimaan negara dan PDB sangat besar. Pendapatan negara dari pajak dan bukan pajak dari sektor migas yang besar, bahkan untuk penerimaan migas mencapai 6.3% PDB pada tahun 2020.

Di sisi lain, transportasi perkotaan masih mengandalkan kendaraan pribadi atau kendaraan umum berbahan bakar bensin. Pemanfaatan 10% bioetanol dalam BBM bensin mengurangi emisi GRK sebanyak 8.8%. Bioetanol dapat diandalkan oleh Indonesia, mengingat pemanfaatannya melalui pencampuran dengan bensin yang banyak digunakan oleh masyarakat. Bensin, saat ini menjadi bahan bakar yang dapat mendukung ketahanan energi sekaligus keterjangkauan energi di Indonesia, karena tersedia hingga ke daerah terpencil dengan infrastruktur yang memadai.

Namun, kebutuhan lahan perkebunan tebu untuk pasokan bioetanol diperkirakan mencapai dua kali lipat dari luas perkebunan tebu saat ini (dari 470 juta Ha menjadi 700 juta Ha). Hal ini juga akan memperkuat pasokan gula dalam negeri, sekaligus memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. Untuk memungkinkan perluasan lahan perkebunan dan ekosistem bioetanol di Indonesia, diperlukan kebijakan terkait pengelolaan gula dan insentif untuk sektor perkebunan. Selain itu, diharapkan dapat menghasilkan lapangan kerja tambahan di industri perkebunan dan pengolahan. Saat ini, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi bioetanol sebesar 30.000 KL sebanyak 220 tenaga kerja. Jika, jumlah produksi ditingkatkan 200 kali lipat untuk memenuhi kebutuhan E20 nasional, maka secara paralel kebutuhan tenaga kerja akan meningkat secara signifikan.

Gas dan bioetanol sangat handal untuk menjaga ketahanan energi Indonesia sekaligus menjadi energi transisi untuk mencapai trilema energi. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, gas alam dan biofuel dapat dikelola semaksimal mungkin dari hulu ke hilir untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri guna menjaga ketahanan energi. Selain itu, di tengah proses transisi global menuju energi bersih, gas dan biofuel berperan penting sebagai energi transisi dalam mengurangi emisi karbon. Gas dan biofuel yang lebih ramah lingkungan dibandingkan energi fosil dapat menjadi game changer bagi proses transisi energi di Indonesia serta bonus bagi ketahanan energi domestik dan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi.

Penulis : Hery Haerudin
Hery Haerudin merupakan VP Pertamina Energy Institute (PEI) dan telah berkarir selama satu dekade. Hery merupakan praktisi di sektor minyak, gas, dan energi dengan berbagai pengalaman dalam kegiatan research & development (R&D) di Pertamina dan LIPI.
Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Sandiaga Dukung Jokowi “Partai Perorangan”

13 Desember 2024 - 14:21 WIB

Bahlil Sebut Ojol Tak Dapat Subsidi BBM

28 November 2024 - 16:31 WIB

Memilih Tipe Pemimpin Kota Tangerang?

18 November 2024 - 15:15 WIB

Adu Strategi Kampanye Andra dan Airin, Siapa yang Lebih Efektif?

10 November 2024 - 11:19 WIB

3 Lembaga Survei Keluar dari Persepsi

8 November 2024 - 10:47 WIB

RIDO Pamer Kartu Kamu

7 Oktober 2024 - 15:07 WIB

Trending di Bisnis