JAKARTA | Harian Merdeka
Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan pentingnya mengembalikan esensi pendidikan di pesantren dengan tetap menjaga tradisi dan nilai-nilainya. Ia menolak standar yang tidak sesuai dengan karakteristik pesantren, seraya menggarisbawahi bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar dari manusia, tetapi juga dari alam dan pengalaman yang luas.
Dalam acara peluncuran aplikasi layanan pendidikan pesantren bernama Syamil (Sistem Layanan Informasi Majelis Masyayikh) pada Selasa (12/11/2024), Nasaruddin menyampaikan bahwa pendidik di pesantren harus mendorong santri untuk berpikir kreatif dan kritis, serta tidak terjebak pada parameter pendidikan formal yang tidak sejalan dengan keunikan pesantren. “Ukurlah pesantren berdasarkan nilai-nilai dan tradisi mereka sendiri, bukan dengan ukuran formal,” ujarnya.
Ia juga mengajak semua pihak untuk berfokus pada visi dan misi yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Legislasi ini diharapkan dapat memperkuat kualitas pendidikan pesantren agar mampu berperan sebagai garda terdepan dalam pembangunan masyarakat. “Pesantren harus memberikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat baik dari segi kualitas maupun kuantitas,” tambah Nasaruddin.
Ketua Majelis Masyayikh, KH Abdul Ghoffarrozin, menyatakan bahwa aplikasi Syamil merupakan langkah konkret dalam upaya penjaminan mutu pendidikan pesantren. Ia menekankan pentingnya menjaga kemandirian pesantren, serta menyebutkan bahwa anggaran merupakan salah satu indikator keberhasilan sistem pendidikan pesantren. Majelis Masyayikh berperan sebagai penghubung antara pesantren dan pemerintah, memastikan aspirasi pesantren diakomodasi dan hak-hak mereka terlindungi.
Ghoffarrozin juga mencatat bahwa jumlah pesantren di Indonesia terus meningkat setiap tahun, terutama setelah diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 2019 yang memberikan perhatian lebih pada pesantren. Dengan meningkatnya jumlah tersebut, tantangan dalam menyediakan layanan pendidikan berkualitas pun semakin kompleks. “Kami berupaya memberikan layanan yang lebih baik melalui Syamil agar pesantren dapat mengikuti perkembangan teknologi,” ujar Gus Rozin.
Ia juga menyoroti perlunya verifikasi data dan integrasi regulasi antara pusat dan daerah. Kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan sering kali menjadi kendala bagi pesantren dalam mengakses sumber daya. Dengan adanya data yang valid dan regulasi yang terintegrasi, pelayanan terhadap pesantren diharapkan lebih optimal. Aplikasi Syamil dipandang sebagai langkah awal yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.