JAKARTA | Harian Merdeka
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani akan mengerek kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen. Kebijakan ini bakal berdampak pada tingginya harga barang dan biaya produksi.
Sementara itu penghasilan atau upah pekerja rendahan atau buruh pada tahun 2025, diprediksi tidak lebih dari 5%. Alhasil, kenaikan PPN 12 persen bakal memberatkan kehidupan masyarakat atas pekerja dan buruh.
Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Subchan Gatot mengatakan, perwakilan pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah secara intensif membahas upah pekerja 2025.
“Jadi kenaikan upah kurang lebih 3,5 persen. Itu di luar pekerja yang masa kerjanya 0-1 tahun,” ujar Subchan di Jakarta, dikutip inilah com, Minggu (17/11).
Jika mengacu PP 51/2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, lanjut Subchan, Apindo ingin membuat upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun, naik sesuai kemampuan perusahaan di kisaran 1-3 persen.
Disebutkan, upah minimum yang tidak terlalu tinggi membuat perusahaan punya ruang tumbuh. Pasalnya, kenaikan upah sebelum pandemi Covid 19 sebesar 8 persen per tahun, dinilai terlalu tinggi. Membuat perusahaan tidak kuat menanggung biaya operasional, akibatnya banyak yang hengkang.
“Waktu di Karawang satu per satu kolaps perusahaan besar pertama tier 3 dulu, lanjut tier 2 baru tier 1 kemudian pada relokasi, dampak ngga keliatan kalau 1 tahun, tapi beberapa tahun kemudian setelah 5 tahun kelihatan,” kata Subchan.
Masalahnya, tahun depan, upah buruh yang naiknya recehan akan menambah beban hidup manakala PPN dikerek menjadi 12 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berdalih, penaikan PPN menjadi 12 persen merupakan amanat dari Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Jadi kami di sini (PPN 12 persen) sudah dibahas dengan Bapak Ibu sekalian (Komisi XI DPR). Sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan (Januari 2025),” ucap Sri Mulyani.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI), Payaman Simanjuntak menyebut, keputusan Sri Mulyani mengerek naik PPN 12 persen, tentunya berdampak luas ke perekonomian.
Paling apes adalah memicu industri bangkrut yang melahirkan pemutusan hubungan perja (PHK).
Terlebih, Payaman menjelaskan, penerapan PPN sebesar 12 persen mulai awal 2025, bakal dirasakan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan, daya beli masyarakat diprediksi akan turun imbas kebijakan ini.
“Permintaan akan barang konsumsi bisa menurun drastis dan dunia usaha menghadapi kesulitan pemasaran. Dampak lebih lanjut perusahaan terpaksa mengurangi produksi dan melakukan PHK,” ujarnya.
Selain itu, Payaman juga tak memungkiri para buruh melakukan unjuk rasa alias demo terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah. “Buruh bisa saja melakukan demo, tetapi demo bukanlah solusi,” imbuhnya.
Mungkin Sri Mulyani lupa. Negara hadir untuk melayani rakyat, membuat kehidupan semakin mudah. Bukan sebaliknya. Pun demikian dengan aturan atau undang-undang, bisa direvisi atau dicabut. Asal tujuannya jelas yakni kesejahteraan rakyat.
Kalau Sri Mulyani ngotot mengerek PPN hingga 12 persen yang berdampak kepada semakin beratnya beban hidup masyarakat serta sector usaha, jangan salahkan publik menjuluki Sri Mulyani si ratu tega. (jr)