JAKARTA | Harian Merdeka
Kemeterian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut adanya potensi kerugian negara hingga Rp 30 triliun dari kasus mafia tanah yang terjadi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Ada dua kasus mafia tanah terjadi di Kabupaten Bekasi yang berhasil dibongkar. Kasus pertama, menimbulkan kerugian riil Rp 4,07 miliar, sementara kasus kedua menimbulkan kerugian Rp 3,9 miliar.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut tanah yang menjadi perkara ada di area yang akan dibangun jalur MRT Cikarang-Balaraja.
“Nah, kalau tersandera akibat ulah mafia tanah tadi, maka potential loss dari proyek besar MRT tadi bisa dikatakan untuk wilayah Bekasi ini hingga Rp 30 triliun rupiah,” tutur AHY dikutip okezone com.
Di tempat terpisah, Direktur Prasarana Perkeretaapian, Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Hengki Angkasawan, menjelaskan bahwa pada area yang tersangkit mafia tanah akan dibangun stasiun dan jalur elevated. Jika kasus tak ditangani maka akan berdampak pada finalisasi pengerjaan proyek tersebut.
“Jadi kalau kami lihat proses yang ada di Cikarang, saat ini ada di segmen dua untuk east-west, saat ini ada sekitar 20 km yang terdampak, kalau kita lihat potential loss yang mungkin akan tercapai itu mungkin akan dicapai itu sekitar Rp 30 triliun,” beber Hengki.
“Karena di situ akan dibangun stasiun dan ada beberapa area yang akan dibangun elevated. Tentu ini akan berdampak terhadap finalisasi terhadap proyek-proyek strategis nasional ke depan,” sambung dia.
Secara rinci, kasus mafia tanah pertama di Bekasi melibatkan lima orang tersangka dengan modus pemalsuan akta jual beli tanah. Para tersangka berkomplot menawarkan sebidang tanah kepada korban dengan nilai kerugian mencapai Rp 4,07 miliar.
Korban dirugikan karena tidak dapat melakukan proses penerbitan sertifikat atas nama sendiri. Kemudian, kasus kedua melibatkan dua tersangka dan 37 korban yang jumlahnya masih berpotensi bertambah. Tersangka RD menggandakan sertifikat hak milik orang tuanya menjadi 39 dengan dibantu tersangka PS.
Sertifikat palsu itu lalu digunakan tersangka RD untuk menjadi jaminan utang kepada para korban. Total real loss dalam kasus ini mencapai Rp 3,9 miliar.
“Nah, atas terungkapnya kasus ini maka yang terselamatkan real loss atas laporan 37 korban tadi dan 39 sertifikat hak milik itu sekitar kurang lebih Rp 3.900.000.000. Sedangkan fiscal loss berdasarkan BPHTB dan PPH dihitung sebesar Rp 1.608.287.850.000,” tutur AHY.
Sedangkan potensi kerugiannya mencapai Rp 173.983.602.410. Dengan demikian, total kerugian yang dapat diselamatkan pada kasus yang kedua ini adalah Rp 179.491.890.260 dari dari riil loss, fiscal loss, dan juga potential loss. Adapun total potensi kerugian dari dua kasus tersebut, yang tidak termasuk proyek MRT, adalah Rp 183.563.890.260. (jr)