BANTEN | Harian Merdeka
Menjelang Pemilihan Gubernur Banten pada 27 November 2024, persaingan antara dua kandidat utama, Andra Soni dan Airin Rachmi Diany, semakin memanas. Kedua calon ini mengadopsi strategi kampanye yang berbeda dalam menerapkan tiga model Pemasaran Politik: Push, Pass, dan Pull Marketing. Meski sama-sama menerapkan beberapa strategi yang serupa, pola yang digunakan oleh keduanya menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun, pertanyaannya, apakah pendekatan ini sudah cukup efektif untuk meraih suara pemilih?
Push Marketing: Adu Kekuatan Tatap Muka
Andra lebih mengandalkan strategi Push Marketing dengan kampanye tatap muka dalam skala besar. Ia menggunakan panggung-panggung terbuka, seperti gelaran musik dan tabligh akbar, untuk menarik perhatian massa. Di satu sisi, cara ini memang menciptakan efek meriah dan terlihat mencolok, terutama dengan kehadiran tokoh-tokoh berpengaruh seperti Habib Syech, Ahmad Dhani, dan Raffi Ahmad. Pendekatan ini bukan hanya mengumpulkan massa, tetapi juga memberikan daya tarik emosional yang dapat memengaruhi pemilih, khususnya di daerah-daerah dengan basis penggemar setia tokoh yang dihadirkan.
Airin, di sisi lain, mengambil pendekatan lebih personal dan berkelanjutan. Ia fokus pada kampanye door-to-door atau canvassing, menyentuh langsung basis pemilih dengan blusukan ke 1.500 desa dan kelurahan di Banten selama tiga tahun. Pendekatan ini cenderung lebih efektif dalam membangun hubungan yang lebih intim dan kepercayaan dari masyarakat. Pendekatan tatap muka yang intens ini memungkinkan Airin lebih mengenal kebutuhan spesifik warga, sehingga pesan yang disampaikan menjadi lebih relevan dan personal.
Pass Marketing: Endorsement Selebriti vs. Jaringan Masyarakat
Dalam ranah Pass Marketing, Andra jelas unggul dalam menggunakan tokoh-tokoh populer untuk meningkatkan daya tarik kampanyenya. Endorsement dari selebritas dan tokoh agama memiliki dampak besar dalam membangun momentum dukungan. Namun, pendekatan ini juga memiliki kelemahan jika tidak diorganisir secara baik. Deklarasi dukungan yang hanya sekadar ramai tanpa pengelolaan yang terstruktur berisiko menjadi “kerumunan” belaka tanpa konversi suara yang signifikan di TPS.
Airin, sementara itu, bisa lebih optimal dalam memobilisasi simpul-simpul masyarakat, seperti tokoh agama dan komunitas lokal, untuk mendukungnya secara lebih terstruktur. Alih-alih mengandalkan selebriti sebagai vote-getter, ia dapat memanfaatkan jaringan yang lebih organik dan berkelanjutan. Namun, ini hanya akan efektif jika dukungan dari jaringan ini benar-benar terkelola dengan baik hingga ke tingkat pemilih yang militan.
Pull Marketing: Kelemahan Bersama dalam Memanfaatkan Media Digital
Meski keduanya agresif dalam strategi tatap muka dan endorsement, baik Andra maupun Airin masih lemah dalam memanfaatkan strategi Pull Marketing. Media sosial yang seharusnya menjadi medan pertempuran utama di era digital ini justru kurang dioptimalkan. Konten kampanye mereka cenderung normatif, sekadar memuat liputan kegiatan tanpa upaya untuk mengatur agenda atau framing isu. Padahal, strategi agenda-setting dan framing sangat krusial untuk memengaruhi opini publik di dunia maya.
Andra dan Airin seharusnya memanfaatkan kekuatan media digital dengan lebih cerdas, bukan sekadar sebagai papan informasi, tetapi sebagai alat untuk membentuk persepsi publik. Menggunakan strategi agenda-setting ala Maxwell McCombs dan Donald Shaw, serta framing Erving Goffman, dapat menjadi kunci untuk membangun narasi yang kuat dan mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat.
Awas Perilaku Pragmatis Pemilih: Tantangan bagi Kedua Kandidat
Meskipun strategi kampanye yang berbeda ini menarik untuk disoroti, kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa perilaku pemilih di Banten cenderung pragmatis. Survei PolLead Consulting menunjukkan bahwa 69,75% responden menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar. Ini menunjukkan bahwa pemilih masih rentan terhadap bujukan materi, yang dapat menjadi faktor penentu dalam memenangkan suara, terlepas dari seberapa canggih strategi kampanye yang digunakan.
Kesimpulan
Adu model kampanye antara Andra dan Airin menunjukkan bahwa kedua kandidat memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pendekatan mereka. Andra unggul dalam menciptakan daya tarik massa melalui acara besar dan endorsement selebriti, sementara Airin lebih fokus pada pendekatan personal dengan tatap muka langsung. Namun, keduanya perlu meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan media digital untuk menarik suara pemilih yang lebih luas dan membangun narasi yang lebih kuat.
Dalam konteks pemilih yang pragmatis, strategi-strategi ini akan menghadapi tantangan berat untuk benar-benar mempengaruhi keputusan memilih. Pada akhirnya, kandidat yang dapat lebih kreatif dalam memadukan ketiga strategi pemasaran politik tersebut, dan mampu mengatasi perilaku pragmatis pemilih, kemungkinan besar akan memenangkan hati masyarakat Banten pada Pilgub 2024 nanti.