Oleh: Asep Ferry Bastian
Direktur Eksekutif PolLead Consulting (Research Center & Political Strategy)
Kota Tangerang tengah bersiap menghadapi momentum politik yang menentukan masa depannya. Tepatnya 27 November 2024, lusa, Kota Tangerang punya pemimpin baru. Dengan berbagai tantangan urban seperti kepadatan penduduk, infrastruktur, dan pengelolaan lingkungan, kota ini memerlukan pemimpin yang tak hanya cakap, tetapi juga mampu merangkul aspirasi masyarakat dan menghadirkan perubahan nyata. Dalam kontestasi kali ini, tiga pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang, maju menawarkan visi dan pendekatan berbeda: Faldo Maldini-Mohammad Fadhlin Akbar, Ahmad Amarullah-Mohamad Bonnie Mufidjar, serta Sachrudin-Maryono Hasan. Berdasarkan teori Political Leadership, kita dapat menilai keunggulan dan tantangan masing-masing pasangan dalam membangun Tangerang ke depan.
Faldo Maldini dan Mohammad Fadhlin Akbar. Pemuda Visioner untuk Tangerang Modern. Pasangan muda ini mencerminkan semangat perubahan. Faldo, mantan Ketua BEM UI yang dikenal sebagai politisi muda berwawasan nasionalis, membawa energi baru dan kedekatan dengan elite pemerintahan pusat. Bersama Fadhlin, yang memiliki latar belakang keluarga politisi senior di Banten, mereka menawarkan kombinasi regenerasi dan koneksi politik yang strategis. Dari perspektif transformational leadership. Teori yang diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978) dan dikembangkan oleh Bernard Bass (1985), Faldo memiliki potensi sebagai pemimpin transformatif yang mengedepankan inovasi dalam pengelolaan kota. Kedekatannya dengan elite nasional membuka peluang untuk mengalirkan dukungan program strategis ke Tangerang. Namun, legitimasi mereka di mata masyarakat lokal menjadi tantangan. Sebagai generasi muda, mereka harus mampu membangun kedekatan emosional dengan masyarakat, terutama generasi yang lebih senior. Gagasan ideal yang dapat mereka usung adalah pembangunan Kota Tangerang sebagai kota berbasis teknologi melalui konsep smart city. Selain itu, mereka bisa memprioritaskan pemberdayaan generasi muda dan UMKM untuk menghadirkan ekonomi yang inklusif.
Ahmad Amarullah dan Mohamad Bonnie Mufidjar: Perpaduan Akademisi dan Politisi. Amarullah, mantan birokrat sekaligus Rektor UMT Tangerang, dikenal sebagai figur rasional dengan latar akademik yang kuat. Diperkuat Bonnie, seorang politisi PKS dan anggota DPRD Banten, pasangan ini menghadirkan kombinasi antara pendekatan teknokratis dan kemampuan politik berbasis massa. Dalam teori situational leadership, Teori yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard (1969), Amarullah dan Bonnie menawarkan fleksibilitas dalam menghadapi berbagai situasi kompleks, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga lingkungan. Dengan legitimasi kultural dari Muhammadiyah dan dukungan politik dari PKS, mereka memiliki modal kuat untuk menggerakkan basis massa sekaligus membawa pendekatan berbasis data dan kebijakan yang terukur. Namun, tantangan terbesar adalah menemukan titik keseimbangan antara pendekatan birokratis dan aspirasi politik masyarakat. Pasangan ini dapat mengusung gagasan ideal berupa penguatan sektor pendidikan, reformasi tata kelola kesehatan, dan program lingkungan yang berorientasi keberlanjutan.
Sachrudin dan Maryono Hasan: Pengalaman, Stabilitas dan Keberlanjutan. Pasangan ini menawarkan kepemimpinan berbasis pengalaman panjang di birokrasi. Sachrudin, mantan Wakil Wali Kota Tangerang selama dua periode, memiliki pemahaman mendalam tentang tata kelola pemerintahan lokal. Didampingi oleh Maryono, yang juga berlatar belakang birokrat, mereka menjadi simbol kontinuitas dan stabilitas dalam pembangunan kota. Menurut teori transactional leadership, Teori yang diperkenalkan oleh Max Weber dan dikembangkan oleh Bernard Bass (1981), pasangan ini berfokus pada pencapaian target-target jangka pendek yang realistis, melanjutkan program-program strategis yang telah berjalan di bawah kepemimpinan sebelumnya. Kelebihan mereka adalah jaringan yang kuat di dalam birokrasi, memungkinkan implementasi kebijakan berjalan lebih efisien. Namun, mereka perlu meyakinkan masyarakat bahwa kepemimpinan mereka tidak hanya sekadar melanjutkan, tetapi juga membawa inovasi baru. Program ideal mereka bisa mencakup pengembangan transportasi publik untuk mengatasi kemacetan serta perbaikan infrastruktur perkotaan yang mendukung kebutuhan masyarakat modern.
Tangerang Butuh Pemimpin Visioner dan Kolaboratif.
Ketiga pasangan calon menawarkan gaya kepemimpinan yang unik, dengan keunggulan dan tantangan masing-masing. Kota Tangerang membutuhkan pemimpin yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat urban, mengelola pertumbuhan ekonomi, dan menjaga lingkungan secara berkelanjutan. Gagasan seperti smart city, pemberdayaan UMKM, dan reformasi sektor pendidikan serta kesehatan menjadi kunci untuk membawa Tangerang ke arah yang lebih baik. Pada akhirnya, pemilih di Kota Tangerang memiliki tanggung jawab besar untuk menentukan pemimpin yang tidak hanya berpengalaman, tetapi juga mampu membawa perubahan nyata dan berkesinambungan. Siapakah yang akan membawa Kota Tangerang menuju masa depan yang lebih baik? Hanya waktu dan pilihan masyarakat yang akan menjawab. Tetapi setidaknya ketiga teori ini bisa memberikan kerangka konseptual untuk menilai gaya kepemimpinan masing-masing pasangan calon dalam konteks kebutuhan Kota Tangerang. (*)